Nadine Chandrawinata

Dimuat di majalah Flona edisi 79, terbit bulan September 2009.

Duta Penyelamatan Gajah Sumatera

Gajah merupakan satwa cukup unik. Seekor betina bakal jadi pemimpin dalam kelompoknya.

Sifat khas itu menjadi salah satu alasan Nadine Chandrawinata menerima “jabatan” sebagai Duta Gajah. Menurut mantan Putri Indonesia 2008, karakter itu bisa menjadi inspirasi bagi para perempuan di Indonesia. Agar semakin klop, penobatan dilakukan pada bulan April, bertepatan dengan peringatan Hari Kartini. “Gajah betina saja bisa menjadi pemimpin. Perempuan juga harus bisa jadi pemimpin, (paling tidak) memimpin diri sendiri,” ujarnya.

Penobatan Nadine sebagai Duta Gajah, tepatnya Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrana), tentu bukan tanpa sebab. Dalam hitungan dua bulan, belasan Gajah Sumatera ditemukan tewas. Sebagian ditemukan mati dengan kondisi tanpa gading. Sementara sebagian lain mati akibat racun yang dipasang di perkebunan sawit. Semakin mengenaskan mengingat habitat asli satwa bertubuh raksasa juga hancur akibat dikonversi menjadi perkebunan dan permukiman.

Nah, salah satu tugas Nadine (bersama Maia) adalah mengampanyekan tentang ancaman terhadap kepunahan. Sebelum menjadi Duta Gajah, wanita blasteran Indo-Jerman itu cukup concern dengan satwa. “Kalau di laut (perhatian utamanya) pada penyu sebagai satwa tertua. Di darat, mamalia tertua adalah gajah. Saya berkecimpung juga di WWF,” aku Nadine.

Mengembalikan Hak

Kehidupan gajah tak jauh berbeda dengan manusia. Begitu kata Nadine Chandrawinata, ketika diminta pendapatnya mengenai binatang berbelalai itu. Mantan Putri Indonesia 2008 itu juga mengungkapkan bahwa gajah termasuk satwa sangat sensitif. Menurutnya, gajah bisa tahu apakah yang mendekatinya berniat jahat atau positif.

Kedekatan Nadine dengan gajah tergambar saat sesi foto bersama gajah di Pantai Lebih, Gianyar, Bali. Tanpa canggung pembawa acara musik Mantap di sebuah stasiun televisi swasta ini mengelus, memeluk dan menari bersama dua satwa bertubuh raksasa itu. Ia juga tetap tenang saat makhluk yang bertahan dari evolusi panjang itu menggamit dan mengangkatnya dengan belalai. “Sangat menyenangkan kok,” kata Nadine singkat.

Interaksi itu sekaligus menjadi cara Nadine untuk lebih mengenal gajah. Sebelumnya gajah harus diajak ngobrol dulu, ia percaya mereka bisa berkomunikasi dengan membaca aura. Nadine menambahkan gajah adalah satwa pemimpin, bisa melindungi binatang-binatang di sekitarnya. Jadi keberadaan gajah sumatera sebenarnya sangat berguna bagi ekosistem di sekitarnya.

Sifat gajah juga tidak grusak-grusuk, mereka tahu apa yang dilakukan. Termasuk saat “mengamuk” dan masuk ke permukiman. Sebagian besar habitatnya sudah direnggut manusia, tentu gajah merasa terancam. Nadine mengimbau semua pihak harus sadar, gajah sumatera harus dilindungi. “Manusia telah mengambil hutan yang jadi rumah mereka. Sekarang kita harus mengembalikannya,” tandasnya.

Mari kita segera mengembalikan hutan yang menjadi hak para gajah.

Bukan Terbesar

Meskipun nama spesies yang melekat adalah Elephas maximus, tetapi Gajah Asia bukanlah yang terbesar. Masih ada Gajah Afrika (Loxodonta africana) yang lebih jumbo. Gajah asal Benua Hitam bisa mencapai berat 6 ton, sementara gajah Benua Kuning beratnya mentok pada angka 5 ton. Tinggi Gajah Asia hingga ke pundak bisa mencapai 2,8 meter. Namun subspesies gajah sumatera berukuran lebih kecil, tingginya antara 1,7 – 2,6 meter.

Selain gajah sumatera, Indonesia juga punya subspesies Elephas maximus borneoensis yang berukur relatif kecil. Namun gajah penghuni Pulau Kalimantan sekarang sama sekali tidak bisa ditemui. Selain dua subspecies itu, masih ada dua subspesies lain yakni Elephas maximus indicus (India) dan Elephas maximus maximus (Srilanka).

Gajah Asia memiliki beberapa perbedaan dengan Gajah Afrika. Spesies asal Asia memiliki punggung melengkung ke atas (cembung), sementara saudara jauhnya asal Afrika berpunggung cekung. Bentuk kepala gajah asia terdiri dari dua kubah kiri-kanan. Sementara Gajah Afrika cenderung datar.

Gajah Asia memiliki belalai dengan satu “jari” pada bagian atas ujungnya. Sementara Gajah Asia punya belalai yang ujungnya berjari dua atas-bawah. Belalai memang seperti hidung yang berguna juga untuk bernapas dan mencium bau. Tetapi fungsi utama belalai justru sebagai pengganti tangan terutama untuk mengambil makanan. Begitu juga saat minum, ia akan menyedot air sampai kira kira 40 cm lalu memasukkannya ke mulut.

Perbedaan lain, hanya Gajah Asia jantan yang memiliki gading. Sementara gajah Aprika, jantan dan betina sama-sama bergading. Elephas maximus memiliki kaki depan berjari lima, sementara kaki belakang berjari empat. Kaki depan Loxodonta africana berjari empat, sementara kaki belakang berjari 3. Pembeda lain yang barangkali unik adalah bentuk daun telinga. Gajah Asia punya telinga lebih kecil dengan bentuk mirip Benua Asia. Sementara Gajah Afrika lebih lebar dengan bentuk serupa Benua Afrika.

satu tumbuh 20 ribu

(note: dimuat di majalah Flona Edisi 51/Mei 2007. harapannya sih semoga memberi inspirasi supaya bersemangat dan ulet menjalani profesi. tapi tetap menggunakan nalar dan perhitungan yang matang.)

UKAY SAPUTRA
MULAI SATU POT, KINI 20.000 POT

Saat ini pemilik Annisa Flora Nursery ini memang sedang berkonsentrasi memproduksi aglaonema secara masal.

Sejak awal 2006, bersama dengan seorang koleganya, ia membuka kebun pembibitan khusus aglao di bilangan Sawangan, Depok, Jawa Barat. “Boleh dibilang semua pemain aglao di Indonesia adalah pedagang. Belum ada yang petani yang memproduksi serius. Saya melihat ada peluang itu jadi kenapa tidak dilakukan,” ujarnya.

Ukay yakin, pasar aglaonema di Tanah Air sebenarnya masih sangat luas. Namun terkendala oleh harga. Menurutnya harga satu pot flora berdaun menawan ini masih terlalu tinggi. “Kondisi pasar sekarang ini sebenarnya masih sangat kecil. “Kalau aglaonema sudah cukup murah, akan semakin banyak hobiis rumahan yang akan membelinya. Pasar itu yang saya bidik,” ujarnya yakin.

Tergantung bibit impor

Bukan tanpa alasan pemilik nama asli Ahmad Sukar ini berpendapat demikian. Faktanya, hanya 40 % dari total pengunjung show room aglao miliknya yang kemudian memutuskan untuk membeli. Sementara sisanya, urung melakukan transaksi. Varietas yang dibeli pun tak jauh-jauh dari harga antara 100 – 200 ribu rupiah perpot.

Padahal menurutnya pengunjung yang tidak jadi membeli sebenarnya juga menunjukkan ketertarikan. Namun kebanyakan masih merasa kalau harganya terlampau mahal. “Saya yakin kalau harga aglaonema bisa ditekan lebih murah, taruhlah dengan kisaran 50–100 ribu rupiah. Pembeli akan meningkat drastis, prediksi saya sampai 95 %,“ tandasnya.

Salah satu biang keladi tingginya harga aglao adalah akibat masih mahalnya bibit impor. Agar break even point (BEP) cepat tercapai tetap harus dijual dengan harga cukup tinggi. Kalau BEP bibit sudah terlampaui, harga aglaonema lebih ditentukan oleh biaya produksi saja. tentu dengan catatan tidak perlu lagi membeli bibit impor. Caranya? Simpel saja, cukup efektifkan budidaya.

Pilih varietas

Nursery milik Ukay menempati lahan seluas kira-kira 1.500 m2. Meskipun menurut ukai daya tampung idealnya dibawah 20.000 pot, ia bisa efektifkan hingga mampu menampung sekitar 22-24 ribu pot aglao. “Saya banyak main dan melepas tanaman sejak ukuran kecil. Selain bisa lebih banyak juga lebih mudah dalam transportasinya,” terang Ukay.

Varietas yang dikembangkan juga dibatasi lewat seleksi. Hanya aglao yang bandel, tahan banting dan produktivitasnya tinggi. Semisal pride of sumatera, heng-heng, butterfly, lady valentine, snow white dan beberapa jenis lain. “Varietas yang tak terlampau banyak juga lebih memudahkan penanganan. Saat ini saya sudah bisa stop impor sementara. Kita akan impor kalau mau menambah varietas saja,” lanjutnya.  

Setiap bulan rata-rata produksi nursery-nya mencapai tiga ribu pot. Dengan begitu ia bisa menjual anakan aglaonema dengan harga lebih realistis dan makin mendekati harga bibit di Thailand. Ia menargetkan tahun depan harganya bisa terjangkau oleh kantung ibu-ibu rumah tangga. “Meski murah kualitasnya tetap istimewa. Harga lebih dipengaruhi kuantitas suplai yang cukup banyak,” ujarnya.

Sangat menarik!

SANDARAN HIDUP-MATI

Ia mulai serius terjun ke bisnis tanaman hias di tahun 1983. Sebelumnya sejak kecil ia hanya ikut-ikutan bapaknya main tanaman. Boleh dibilang waktu itu Ukay bermodal nihil, bahkan barangkali minus. “Untuk membeli tanaman kadang yang harus menjual barang yang lain dulu. Waktu itu saya banyak jadi hunter tanaman kelainan macam variegata atau kristata,” terangnya.

Tahun 2004 saya mulai main aglaonema yang colorful. Awalnya cuma mampu beli satu, dipecah jadi tiga. Nambah lagi jadi sepuluh, begitu seterusnya. Modal yang didapatnya sambil jalan ini lantas diinvestasikan semua untuk membuat “pabrik aglao”. “Saya sangat menikmati prosesnya. Hasil penjualan cuma saya ambil sedikit untuk kebutuhan hidup. Sisanya saya pakai lagi untuk mencari tantangan lain di bisnis tanaman hias,” akunya.

Namun bukan berarti tanpa perhitungan, ia tetap menggunakan rasio dan akal sehat. “Pengalaman jatuh-bangun saat main tanaman, kenyang hidup susah jadi mental lebih kuat. Kalau gagal ya kita nyalo lagi, atau ngasong. Tapi segala kemungkinan sudah saya perhitungkan. Kalaupun gagal tidak parah-parah amat. Siapa sih yang pengin hidup susah terus,” ujarnya.

Pria berusia 44 tahun ini punya kelebihan karena mau tekun dan serius mempelajari ilmu praktis budidaya dari pengalaman. Di bidang budidaya aglao, sekarang ia barangkali jauh lebih terampil daripada tenaga pertanian berijazah. “Salah satu kekurangan Indonesia dibanding Thailand adalah minimnya tenaga terampil. Tenaga berijazah banyak, tetapi yang terampil susah dicari,” ujarnya.

Untuk menjalankan nursery, ia harus training sendiri karyawannya. Ini tentu membutuhkan waktu. “Saya lebih suka mempekerjakan sedikit tenaga tetapi punya kemampuan. Meskipun harus membayarnya diatas rata-rata upah di nursery di sini,” ujarnya.

INFO

Butuh ratusan ribu pot

“Saya membidik pasar masyarakat perkotaan yang kebanyakan hanya punya teras tanpa halaman. Makanya butuh tanaman yang bisa dipajang di teras,” ujarnya. Pasar ini memang sangat luas. Taruhlah 60 % dari penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, jumlahnya lebih dari 110 juta jiwa. Anggap saja 20 % dari masyarakat yang tinggal di kota itu hidup sejahtera. Masih cukup tinggi, mencapai 22 juta hidup sejahtera. Lantas 10% (2,2 juta, Red) menyukai tanaman hias. Cukup 10 % saja suka aglaonema atau 220 ribu. Pasar yang menjanjikan sekali.

ukay1ukay2